Senin, 10 November 2008

GAMBARAN PERANAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS

GAMBARAN PERANAN PENGAWAS MENELAN OBAT TERHADAP KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS

OLEH
STEPANUS MARIO PARERA


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan Masyarakat. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes RI, 2007).

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang di kenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu penderita batuk butir-butir air ludah berterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru (Hiswani, 2005).

Sejak 1993, telah diperkenalkan dan dikembangkan strategi global pemberantasan TB. Strategi ini terbukti cukup efektif dalam menyembuhkan penderita di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Strategi baru yang

menjamin kesembuhan dikenal dengan istilah Directy Observed Treatment ShortCourse (DOTS) yang mulai diterapkan di Indonesia sejak 1995. Lima komponen utama strategi DOTS yakni adanya komitmen politik dari penentu kebijakan, dilakukannya diagnosis dengan mikroskopis, digunakannya obat-obat paduan jangka pendek yang ampuh dan diberikan dengan pengawasan oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), jaminan ketersediaan obat serta pencatatan pelaporan yang baik (Zein, 2008).

Pada tahun 1995 pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat Puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus di minum oleh penderita secara rutin selama enam bulan berturut-turut tanpa henti (Hiswani, 2005). Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh PMO, di mana PMO ini terdiri dari tenaga kesehatan dan dapat berasal dari kader kesehatan, guru, toko masyarakat atau anggota keluarga.

Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya (Hiswani, 2005). Oleh karena itu, dibutuhkan seorang PMO untuk dapat memastikan tidak putusnya pengobatan terhadap penderita TB. Puskesmas merupakan salah satu sarana pelanyanan yang penting untuk membantu dalam memberikan pelayanan yang terpadu dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan penyakit menular terutama TB Paru di masyarakat demi tercapainya visi Indonesia Sehat 2010.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap kesembuhan penderita TB di Puskesmas.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum :

Mengetahui gambaran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap kesembuhan penderita TB di Puskesmas.

1.3.2 Tujuan Khusus :

1. Mengetahui pengaruh PMO terhadap kesembuhan di Puskesmas.

2. Mengetahui tentang penanggulangan TB dengan pendekatan strategi DOTS dengan pengawasan menelan obat (PMO) secara langsung.

1.4 Manfaat

1. Penelitian dapat dijadikan masukan dalam evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan di Puskesmas.

2. Penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam rangka perencanaan program TB.

3. Menambah pengalaman dan wawasan ilmu kesehatan masyarakat bagi peneliti.

BAB II. ISI

2.1 Tinjauan Pustaka

TB (Tuberkulosis) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Tujuan dari program penanggulangan TB yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya (Multi Drug Resistant Tubeculosis) MDR TB, dengan target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.

Cara penularan

- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyak kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman Tb ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).

Gejala-gejala

- Batuk disertai dahak lebih dari 3 minggu.

- Sesak nafas dan nyeri dada.

- Badan lemah, kurang enak badan.

- Berkeringat pada malam hari waupun tanpa kegiatan.

- Berat badan menurun (Misnadiarly, 2006).

Kebijakan

1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/Kota sebagai titik berat manajemen program dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi Directy Observed Treatment Shotrcourse (DOTS).

3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB.

4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditunjukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.

5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemeritah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).

6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dam kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB).

7. Peningkatan kemapuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditunjukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.

8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.

9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.

10. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.

11. Penaggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV.

12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

13. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs (Depkes RI, 2007).

Strategi

Rencana kerja strategi 2006-2010, merupakan kelanjutan dari Renstra sebelumnya, yang mulai difokuskan pada perluasan jangkauan pelayanan dan kualitas DOTS. Untuk itu diperlukan suatu strategi dalam pencapaian target yang telah ditetapkan, yang dituangkan pada tujuh strategi utama pengendalian TB, yang meliputi (Depkes RI, 2007) :

Ekspansi ”Ouality” DOTS

1. Perluasan dan peningkatan pelayanan DOTS berkualitas.

2. Menghadapi tantangan baru, TB-HIV, MDR-TB dll.

3. Melibatkan seluruh penyelia pelayanan

4. Melibatkan penderita dan masyarakat.

Didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan

5. Penguatan kebijakan dan kepemilikan daerah.

6. Kontribusi terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan.

7. Penelitian operasional.

Pengobatan

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia (Depkes RI, 2007) :

- Kategori 1 (KT 1) = 2(HRZE)/4(HR)3.

Tahap Intensif diberikan tiap hari selama 56 hari Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pyrazinamide (Z) dan Ethambutol (E). Kemudian diteruskan Tahap Lanjutan diberikan 3 kali seminggu selama 16 minggu Isoniazid (H) dan Rifampisin (R). obat ini diberikan untuk :

a. Pasien baru TB Paru BTA positif.

b. Pasien TB Paru BTA negatif foto toraks positif.

c. Pasien TB ekstra paru

- Kategori 2 (KT 2) = (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap Intensif diberikan selama 84 hari yang terdiri dari 56 hari dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Ethambutol (E), dan suntikan Streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 28 hari dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan Tahap Lanjutan selama 20 minggu dengan HRE yang diberikan 3 kali seminggu. Suntikan Streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.Obat ini diberikan untuk :

a. Pasien kambuh

b. Pasien gagal

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default).

- Kategori Sisipan

Bila pada akhir intensif pegobatan penderita baru BTA Positif dengan kategori 1 atau penderita BTA Positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA Positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 28 hari.

- Kategori Anak

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan berikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada Tahap Intensif maupun Tahap Lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

1. Persyaratan PMO yaitu :

- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

2. Siapa yang bisa jadi PMO :

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3. Tugas seorang PMO :

- Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

- Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

- Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada yang telah ditentukan.

- Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).

Tugas seorang PMO bukanlah untuk menggantikan kewajiban pasien mengambil obat dari UPK.

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya :

- TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan dan kutukan.

- TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

- Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

- Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

- Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

- Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

Hasil Pengobatan Pasien TB

- Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.

- Pengobatan Lengkap

Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

- Meninggal

Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

- Pindah

Pasien yang pindah berobat ke daerah Kabupaten/Kota lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

- Drop out (Putus Obat)

Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

- Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.2 Metode Penelitian

Merupakan bentuk penelitian perpustakaan (library research/study) yang hanya didasarkan pada bahan / buku pustaka / literatur , laporan dan dokumen lainnya.

2.3 Hasil Penelitian

Keberhasilan pengobatan banyak faktor menyebabkan kegagalan konversi pada penderita TBC paru yang telah berobat. Sebuah Riset Operasional (RO) di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dilakukan oleh Litbang Depkes berupaya menggali faktor-faktor tersebut. Ternyata ada 15 variabel yang mempengaruhi, antara lain status gizi, lantai rumah, jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO, penyuluhan oleh paramedis, dan kepatuhan berobat penderita sendiri. Namun dalam analisis multivariat, ternyata model terbaik bagi populasi yang di teliti ini hanya terdiri dari variabel lantai rumah, PMO dan status gizi penderita (Litbang Depkes RI, 2004).

Studi operasional yang dilakukan oleh Gitawati mengenai 'Pengawas Menelan Obat' (PMO) dalam pengobatan penyakit TB paru dengan tujuan mengungkapkan manfaat peran PMO dalam upaya meningkatkan keberhasilan terapi. Studi dilakukan secara prospektif mengikuti terapi penderita TB paru sejak awal sampai dengan akhir terapi (6 bulan), di 4 puskesmas wilayah Jakarta Timur dan Pusat. Subyek penelitian adalah 60 penderita TB paru (kasus baru) yang berobat ke puskesmas (temuan kasus secara pasif), memenuhi kriteria inklusi dan menyatakan bersedia menjadi subjek dengan menandatangani informed consent. Sejumlah 30 subyek ditangani dengan pendekatan strategi DOTS (dengan PMO), dan 30 kasus lainnya tanpa mengikutsertakan PMO. Setiap kasus mendapatkan paket Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kategori-I, dan dilakukan uji BTA sputum dan uji mikrobiologik sputum(kultur dan uji sensitivitas/resistensi kuman TB paru terhadap OAT). Uji dilakukan pada awal (sebelum) terapi, selama dan pasca pengobatan. Selama perjalanan terapi dihitung angka drop out. Dari hasil studi diperoleh angka drop out tercatat 6.7% (kasus dengan PMO) dan 10.0% (kasus tanpa PMO), lebih tinggi dari indikator keberhasilan DOTS: <>

Studi kasus hasil pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta tahun1996-1999 yang dilakukan Gitawati dan Sukasediati berhasil terkumpul sebanyak 60 kasus telah ditangani dengan program baru, yang dilengkapi dengan strategi DOTS yaitu mengikutsertakan pengawas menelan obat (PMO). Sedangkan 200 kasus yang terkumpul pada tahun 1998-1999 belum memanfaatkan PMO. Hasil penelitian (1996-1997) mengungkapkan bahwa angka konversi BTA adalah 67,7%, drop out 20,4% dan angka kesembuhan 75,4%; menunjukkan bahwa hasil pengobatan terhadap kasus-kasus di Puskesmas tersebut masih belum sesuai dengan indikator Program TB, yakni angka konversi >80%, drop out <5%>drop out dan angka kesembuhan pada kasus-kasus 1998-1999 berturut-turut adalah 95,0%, 8,3%, dan 85,0%, relatif lebih baik dan mendekati indikator program. Bila dua keadaan tersebut dibandingkan, ternyata kasus-kasus yang ditangani pada periode 1998-1999 dengan strategi baru DOTS dengan menggunakan PMO, menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan periode 1996-1997 tanpa menggunakan PMO (Gitawati, Sukasediati, 1999).

2.4 Pembahasan

TB dapat ditanggulangi dari suatu negara maka WHO mensyaratkan bahwa setidaknya 70% pasien TB dapat ditemukan dan diobati dengan angka kesembuhan sedikitnya 85%. Untuk meningkatkan angka kesembuhan diperlukan suatu strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang telah terbukti dengan berbagai uji coba lapangan dapat dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Salah satu upayanya yaitu pengobatan dengan obat jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO.

Banyak faktor yang berpengaruh menurut Litbang Depkes dalam pengobatan TB paru di Puskesmas salah satu penentu yaitu ada tidaknya Pengawasan Menelan Obat (PMO) yang dapat mengawasi penderita minum seluruh obatnya. Keberadaan PMO ini juga memastikan bahwa penderita betul minum obatnya dan bisa diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO haruslah orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas kesehatan. Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat maupun tokoh agama.

Pengawas Menelan Obat (PMO) memiliki peranan penting dalam penanggulangan TB. Penelitian yang dilakukan Gitawati dan Sukasediati pada tahun 1996-1997 dengan angka kesembuhan 75,4% (tanpa PMO) menunjukkan masih belum sesuai dengan indikator Program TB, sedangkan setelah di terapkannya DOTS dengan PMO terjadi peningkatan angka kesembuhan pada tahun 1998-1999 mencapai 85%, sehingga menunjukkan relatif lebih baik dengan menggunakan PMO.

Pengawasan Menelan Obat (PMO) juga meningkat angka konveksi BTA yang sebelumnya 67,7% menjadi 95,0%. Dampak lain yang dapat dirasakan akibat adanya PMO yaitu terjadinya penurunan angka drop out 20,4% tahun 1996-1997 menjadi 8,3% pada tahun 1998-1999. Penelitian juga diperkuat dengan penelitian oprasional yang dilakukan sendiri oleh Gitawati di mana diperoleh angka drop out tercatat 6.7% (kasus dengan PMO) dan 10.0% (kasus tanpa PMO), lebih tinggi dari indikator keberhasilan DOTS: < style="">drop out setelah penerapan strategi DOTS dengan pengawasan langsung menelan obat dapat memperkecil Multi Drug Resistace TB (MDR-TB).


BAB . III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Strategi baru pengobatan TB paru yang melibatkan PMO dalam program DOTS dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan TB paru yang tercermin dari meningkatnya angka konversi dan angka kesembuhan serta menurunnya angka drop out.

2. Pengawas Menelan Obat memiliki peran penting dalan pengobatan penderita TB di Puskesmas.

3.2 Saran

1. Petugas kesehatan yang ada di Puskesmas diharapkan dapat memberikan pengertian akan penting minum obat secara lengkap terhadap penderita maupun PMO sehingga tidak terjadi MDR-TB.

2. Diperlukan penerapan strategi DOTS secara terpadu untuk dapat dalam penanggulangan dengan memaksimalkan peran PMO dalam peningkatan angka kesembuhan penderita TB.



DAFTAR PUSTAKA


Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2004. Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular Tahun 1998/1999–2003. (Online). (Riset operasional TB httpwww.Lit- bang.depkes.go.iddownloadICDCRO-ICDC.pdf, diakses 18 Oktober 2008).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Dirjen P2M PLP.

Gitawati R, Sukasediati Nani. 1999. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996-1999. (Online). (httpwww.kalbe.co.idfilescdkfiles08_StudiKasusHasilPengobatan.pdf08_StudiKasusHasilPengobatan.html, diakses 18 Oktober 2008)

Gitawati R. 2002. Penelitian Pengaruh adanya 'Pengawas Menelan Obat' (PMO) terhadap Keberhasilan Pengobatan Kasus Baru Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Beberapa Puskesmas di DKI Jakarta. (Online). (httpdigilib.itb.ac.idgdl.phpmod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-res-1998-retno-483-survei&q=Oba, diakses 18 Oktober 2008).

Hiswani. 2005. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. (Online). (http://library.usu.ac.id/down load/fkm/fkm-hiswani6.pdf, diakses 17 Oktober 2008).

Zein U. 2008. Perjalanan TB Paru Di Indonesia (Menyongsong Hari TB Sedunia). (Online). (httpwww.waspada.co.idindex2.phpoption=com_con tent&do_pdf=1&id=14494, diakses 17 Oktober 2008).

Tidak ada komentar: